Salam

Islam itu indah (^_^)

Monday 17 February 2014

Sastra Indonesia di Mata Dunia

Dalam pergaulan sastra dunia, sastra Indonesia adalah sebuah terra in cognita, ruang gelap yang tak diketahui dan tidak dikenal. Adapun karya sastra Indonesia yang dikenal dan sempat disebut-sebut \, semuanya selalu serba parsial, tidak utuh dan menyeluruh.
Karya sastrawan Indonesia di mata dunia, pada akhirnya hanya berhenti pada nama itu-itu saja, Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, W.S. Rendra, atau Y.B. Mangunwijaya. Karya mereka pun sebenarnya lebih dikenal hanya di kalangan dunia akademis atau universitas yang (kebetulan) memiliki program kajian bahasa dan sastra Indonesia.
Bukan karena karya sastra Indonesia tidak menarik, tetapi dalam pergaulan sastra masyarakat internasional, “pembacaan” atas sebuah karya sastra dari negeri yang asing dan jauh, selalu menjadi hal yang menarik serta menimbulkan rasa penasaran ketika terdapat sejumlah referensi perihal perkembangan karya sastra di negeri itu secara lebih menyeluruh sebagai suatu tradisi. Dan jelas inilah yang tidak dimiliki sastra Indonesia, sehingga ia hanya dibaca kalangan terbatas di dunia akademik.

Tak adanya kemauan pemerintah untuk memperkenalkan kebudayaan dan karya sastra Indonesia ke mata dunia, mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu penyebabnya. Tak hanya itu, sejumlah dosen dan peneliti sastra Indonesia di negara-negara Eropa, misalnya, sering tak bisa lagi membaca perkembangan sastra Indonesia terbaru karena Perpustakaan Kedutaan Besar Indonesia sangat langka mengoleksinya. Penyebab lainnya adalah karena tak ada lembaga yang berkonsentrasi pada penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa asing. Baik yang dikerjakan lembaga swasta maupun pemerintah.
Di lain sisi, terdapat juga kenyataan berikutnya mengapa sastra Indonesia di mata dunia sering terbaca sebagai perkembangan yang parsial. Karena Indonesia adalah sebuah terra in cognita, hanya ada sedikit pihak atau komunitas – selaku cahaya penerang – yang memiliki akses untuk masuk ke “pergaulan” sastra dunia. Itu pun harus melalui lobi-lobi yang canggih dengan isu-isu yang bisa “dijual” (mulai dari isu hak asasi manusia hingga demokratisasi). Itulah cara menerangi dunia untuk menatap sastra Indonesia.
Mungkin tak apa, seandainya saja dominasi akses ini tidak dibarengi kecenderunga yang selalu berpusat pada kepentingan kelompok. Sayangnya, ketika cara seperti ini telah berhasil dilakukan ternyata akses ini hanya ditujukan pada mereka yang berada di lingkaran yang sama. Di luar itu? Sastra Indonesia tetap menjadi terra in cognita.
Inilah politik sastra yang terjadi di Indonesia demi keperluan membangun akses menuju ke pergaulan sastra dunia. Bagian dari strategi citraan ini tampak ketika sebuah karya dinobatkan sebagai representasi dari pembenaran isu yang tengah dimainkan. Yang terjadi kemudian, di tengah minimnya pengenalan terhadap sastra Indonesia, ia dipahami dalam berbagai kejanggalan.
***
Baik sastrawan dan pengamat sastra Djamal Tukimin, M.A. (Singapura) maupun Prof. Dr. Koh Young Hun (Korea) menilai karya sastra Indonesia memiliki peluang besar diterima publik sastra di negara mereka. Termasuk prospek penerbitan karya sastrawan muda Indonesia, seperti yang terjadi di Singapura dengan sambutan yang hangat pada novel “Ayat-ayat Cinta” karya Habbiburahman Shirazi dan “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata.
Kuatnya pengaruh sastra Indonesia di Singapura telah terjadi sejak 1930-an, Djamal Tukimin mengemukakan sejumlah alasan mengapa karya sastra Indonesia mudah diterima di Singapura. Salah satunya adalah bagaimana sastrawan Indonesia memiliki sikap terbuka pada berbagai pemikiran seni. Ini berbeda dengan sastrawan Melayu yang agak feudal – berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Jika pun ada di antara mereka yang mulai bergeser, sastrawan Indonesia lah yang memberi dan menjadi inspirasi mereka.
Jika Djamal Tukimin lebih melihat nasib sastra Indonesia di Singapura dalam konteks peluang penerbitan, Koh Young Hun melihat sejumlah celah yang bisa dijadikan peluang bagi sastra Indonesia untuk diterima publik yang lebih luas di Korea sekaligus juga tantangan yang kerap dijumpai selama ini. Seiring dengan mulai diperkenalkannya bahasa Indonesia di perguruan-perguruan tinggi di Korea tahun 1964, kajian terhadap budaya dan sastra Indonesia terus dilakukan. Termasuk ketika Koh Young Hun menerjemahkan sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Korea. Demikian juga dengan Kim Jang Gyen dan Lee Yeon yang melakukan penelitian karya-karya Mochtar Lubis dan N.H. Dini. Selain itu, berbagai lembaga dan universitas pun kerap mengundang sastrawan Indonesia ke Korea.
Sejumlah kesempatan yang berkaitan dengan perkenalan sastra Indonesia di Korea dapat dikatakan berhasil. Akan tetapi, masyarakat Korea umumnya belum begitu tahu unggulnya khazanah sastra Indonesia. Dengan perkataan lain, sastra Indonesia memiliki taraf yang tinggi dan berpeluang digemari kalangan pembaca dunia. Oleh karena itu, ia berharap hendaknya pemerintah Indonesia memberi perhatian yang istimewa untuk memperkenalkan sastra Indonesia ke luar negeri, misalnya dengan mendirikan lembaga yang menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa-bahasa asing atau menunjang lembaga swasta yang berhubungan dengan itu.
***
Nasib sastra Indonesia di mata dunia seolah hadir tanpa referensi yang utuh, baik pengenalan (promosi) maupun tradisi perkembangannya, terlebih lagi tentang kebudayaan Indonesia itu sendiri. Berbeda dengan pengenalan seni pertunjukan tradisi Indonesia yang selalu diboyong pemerintah ke berbagai event di dunia internasional, pemerintah terkesan tidak memandang karya sastra sebagai aset yang perlu dipromosikan. Mata dunia bisa dengan jelas mengenal berbagai seni tradisi pertunjukan Indonesia, bahkan hingga makanannya, tetapi tidak tentang karya sastranya.
Ketidaktahuan masyarakat internasional pada sastra Indonesia inilah yang dengan sedih diceritakan cerpenis dan novelis Putu Wijaya, ketika di Berlin seorang penyair kulit hitam Amerika Serikat bertanya kepadanya, “Apakah di Indonesia ada penyair?”
Putu juga menuturkan pengalamannya yang lain ketika seorang penerbit di Berlin tertarik menerbitkan cerpen-cerpennya. Akan tetapi, penerbit itu mengatakan agar Putu jangan berharap terlalu banyak bahwa karya akan disambut masyarakat di Jerman. “Beberapa karya Pramoedya dan Mangunwijaya sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, tetapi di pasar tidak bunyi. Itu bukan karena karya-karya mereka tidak menarik, tetapi karena masyarakat Jerman tidak memiliki referensi bahwa di Indonesia memiliki kehidupan sastra,” ujar Putu.
Karena itu saat bukunya Telegram diterjemahkan dalam bahasa Inggris di seri Modern Library of Indonesia, Putu merasa senang. “Semoga dunia bisa melihat kekayaan sastra di Indonesia lewat seri ini,” harapnya.
Lewat kajian kritis dan investigasinya yang mendalam terhadap berbagai sumber di Jerman, kritikus sastra Katrin Bandel memaparkan sejumlah permasalahan di balik popularitas Ayu Utami dengan karyanya Saman di Jerman dalam apa yang disebutnya dengan “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”. Salah satu bagian dari politik itu adalah politik pencitraan Ayu Utami di berbagai media massa Jerman sebagai “penulis (perempuan) muda Indonesia berbakat yang berani menulis hal-hal tabu yang sulit diterima masyarakat negaranya yang “kolot” dan “patriakis”.
Menurut Katrin, betapa Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu direpresentasikan dengan cara yang begitu bersifat berpihak dan menyesatkan di beberapa media Jerman dan negara di Eropa. Maka, lalu muncul semacam pertanyaan, apakah pembaca Eropa begitu mudah tertipu? Pembaca Jerman bebas membentuk pendapatnya sendiri, tetapi kebebasan itu ada batasnya ketika pembaca Jerman tidak mengenal dunia sastra Indonesia.
Tidakkah ada yang lebih baik mengenalkan sastra Indonesia pada dunia? Apa yang sudah kita lakukan untuk sastra Indonesia?
[dari berbagai sumber]

No comments:

Post a Comment