Gerimis menitik. Btari adalah petani seperti ibunya. Tapi ia lebih
mirip neneknya. Kabar purba menyampaikan kisah bercocok tanam adalah
garapan para wanita di kaki Gunung Kembar sejak jauh silam. Btari pun
mengayun cangkul berulang-ulang. Gerimis memadat. Sekali lagi ia ayunkan
cangkul. Gerimis justru membuatnya semakin giat menghunus cangkul ke
bumi. Langit kelabu masuk bulan Kartika tahun 1932 Saka. Saatnya hutan
di pinggiran gunung melebarkan paru-parunya.
Gerimis makin kerap. Tetes-tetes tipis menghiasi rambut mayang Btari
yang terlepas merdeka, tak ia ikat. Tubuh kekar Btari berbasuh basah
gerimis. Ia memang kekar di kejauhan, saat ia berkenan menunjukkan wajah
dari dekat dan seksama, justru muncul wujud wajah cuwilan dagu Dedes.
Bibir segaris halus melengkung serupa ukiran bibir topeng wanita tatahan
mbah Karimun dari dusun Glagahamba yang selama 40 hari menitiskan garis
watak wanita-wanita pegunungan Kawi yang wingit kala Pu Barada berdiam
di sana. Hidungnya luwes mengimbangi sepasang mata pancarkan keharuan
yang cemerlang. Itu semua niscaya sulit dicari sebab-akibatnya.
Sedangkan tulang rahang Btari mengingatkan kita pada lengkungan cawan
berkilauan tertimpa sinar rembulan. Keseluruhan kesan bertandang rawan
menyempurnakan ingatan. Padanya tersimpan kegelisahan yang menentramkan.
Semua itu mengimbangi pelipis dan dahi berkabar keluasan faham yang
dalam, terlindung lebat anak-anak rambut yang melingkar-lingkar liar.
Gerimis menyentuh liarnya anak rambut Btari. Semayang mantra yang tak
ia tutup-tutupi dengan selembar kain bersulam. Ia biarkan rambutnya
berdendang menghirup segar-sejuknya gerimis sebagaimana bulu mata dan
alis meraup air dari langit. Tiada canggung berhadapan dengan siapapun.
Orang berkabar burung akan alkisah ia mirip Dewi Durga. Sedang ketulusan
adi pun nyata terlahir, mewartakan dirinya yang indah tanpa praduga.
Keseluruhan wujud Btari pun melahirkan keanggunan semelegenda Dewi
Anjani.
Gerimis yang indah tak membuatnya terpana. Watak dasarnya sesederhana
pertapa. Btari enggan mematut-matut di depan kaca yang memantulkan
sebagian kecil dirinya. Ia tak pandai menata rambutnya. Toh itu tak
mengurangi lembut-halus air wajahnya yang bersinar-sinar serupa petang
yang merah. Pancaran jiwa tak kenal kasta. Demikianlah Btari, semerdeka
sulur-sulur rambut mayang. Ia merdeka menyatakan kehendak bahkan pada
gerimis. Ia bersikukuh enggan berteduh.
“Sudahlah. Mari berteduh,” bujukku.
Btari memandangiku. Diam dan sebentar. Aku memandangi langit petang
yang kelam sejurus perempuan perkasa itu menengadahkan pandangan.
“Ada apa?” gumamnya, memandang langit selembut anak manusia memandang kekasih manakala ia bertanya tentang Tuhannya.
Langit berdehem seperti demam. Sudah masuk bulan ke enam tahun
kesembilan, seribu tahun kedua. Cuaca yang biasa di khatulistiwa. Pada
masa datangnya gerimis begini, tak mungkin Btari memetik menur. Ya, bila
hujan tak hendak reda, menur mekar kehilangan wewangian: bu Almirah,
seorang peronce sunting konde pengantin kurang meminati menur hambar
tanpa aroma sesemarak musim jangkrik kawin. Padahal menur ya tetap
menur, lambang kekayaan sekaligus ketulusan.
Aduh Btari, masa semacam ini menur jatuh harga dirinya. Tiada bisa
disalahkan cuaca. Ini soal selera peronce belaka. Kita sama-sama
memahami ini. Btari menunduk, meski kuncup menur dihargai tinggi di
pasaran bunga persembahan toh begitu pun ia kesulitan menemui pangsanya,
penikmat kuntum-kuntum menurnya. Dan begitulah, sesekali Btari merugi
karena alam ingin menunjukkan siapa ia yang sejati. Menjadikan harga
menur jatuh anggaplah ini sedekah bumi.
Gerimis membasahi menur. Menur memang sedikit manja tapi tak semanja
buah pala. Dengan cuaca yang tepat, kuntum menur berseri-seri seperti
raut gadis usia awal belasan.
Gerimis kian pekat, ulat bulu merayap di ujung cabang dahan menur dan
kemudian menghilang di semak. Ulat adalah sarapan pagi si emprit yang
ramai bertandang ke kebun. Biarlah, rantai makanan bergulir sealaminya,
pikir Btari. Apa salahnya turut mencari makan di sini. Aku pun lega
Btari memiliki keyakinan atas menur tak memerlukan obat tanaman bikinan
manusia diperkota. Sedapat mungkin alam saja yang membuat menur berbunga
lebat dan wangi. Biarlah begitu saja. Ya, biarlah.
Gerimis kian berisi menjadi hujan yang ritmis. Seekor kupu-kupu putih
meliuk hinggap di pundak kiri Btari. Lalu terbang. Kupu-kupu itu
seperti tanpa tujuan tapi dengan cara memandanginya dengan baik
tergambarlah dengan jelas, kupu-kupu sedang tak tenang. Ia sedang
mencari pasangannya entah ke mana terbang. Kepakannya bikin hati
berdesir, ia tak hendak kehilangan kekasih yang dicinta. Tak perlu waktu
lama kupu-kupu melampaui duka. Kupu-kupu berjubah serupa muncul.
Keajegan kepaknya mantap. Kupu-kupu putih tak lagi menyiratkan kepakan
yang gelisah. Btari tahu-menahu, ia terantuk haru atas pertemuan
sepasang kupu-kupu. Mereka mengepak saling menyentuh, saling tersentuh,
saling memilin. Yang satu mendahului terbang. Mereka menghilang di balik
semak gardenia.
Gerimis yang kerap menjelma hujan yang lebat. Btari basah. Ia sandang
cangkul di pundak. Mata cangkul itu tak lebar. Btari membelinya dengan
rasa yakin, cangkul itu khusus dibuat untuk wanita. Demikian penjual
cangkul meyakinkannya. Awalnya Btari tak percaya tapi setelah ia
banding-bandingkan, pegangan cangkul memang jauh lebih langsing sehingga
cukup aman tertangkup telapak tangan saat tergenggam jari-jari
wanitanya. Bahan tangkai pegangan itupun dari kayu cukup ringan meski
tidak benar-benar ringan demi mengimbangi ayunan mata cangkul yang
terbuat dari besi bermutu. Btari pun membasuh cangkul dengan air
beberapa gayung sebersih yang ia mau. Esok, cangkul bermuhibah kembali
ke seluruh pelosok kebun menur.
Gerimis menderas, deras. Btari menyalakan api. Api kayu memeletik
seperti bintang-bintang berhamburan kesiangan. Air dalam ketel tersemat
pantas di atas tungku. Untuk mandi sekaligus menyeduh kopi. Kayu itu
sudah menjadi bara ujungnya. Btari lalu menyiapkan cangkir dan bubuk
kopi dengan sedikit gula. Samar manisnya. Sesamar wujud Btari di depan
tungku. Air dalam ketel tenang di atas bara. Api kayu bergemeletuk dan
ketel mulai mengeluarkan uap panas. Gelembung-gelembung permukaan air di
dalam ketel membuncah. Gerah. Air membuih. Btari meraih gayung batok
kelapa yang menggantung di dekat tungku. Segayung, sisanya ia bawa ke
peturasan untuk membasuh tubuh berkeringat dan tertimpa hujan. Kulah
dari tanah liat telah terisi sepertiganya air sumur. Kulah meluap saat
ditambah air mendidih beraroma getah kayu.
Gerimis telah menjadi hujan melebat, Btari meraih sabun seba, dan
sesegera membuat busa. Air, tubuh, rambut, pintu, bunyi telanjang.
Nafas. Btari menyeka wajah dan berbincang dengan tubuhnya. Busa
menyanyi. Segala yang rusuh luruh dari tubuh. Mandi bagi Btari semacam
meditasi bagi jiwa yang kadangkala terlilip debu modernisasi yang
menghajar hingga ke kehidupan desanya. Kulit sawo kecik bagai manikam
itu pada puncak keindahan wanita. Btari bukan tak menyadari. Ia tahu
persis. Ini membuatnya cukup nyaman dan tak mau menjadi pralambang
keindahan sebagai alat menjerat absurditas ketakabadian yang dinamakan
kecantikan. Btari memilih merendam diri dalam kulah pemahaman makna. Ia
berjaga dari keriuhan modernitas yang menggerogoti desanya. Desa Btari
dulu lugu. Kini menjelma bengis berperhitungan. Kendaraan bermotor tak
lagi mengerti bahwa menyalip di sebelah kiri itu membahayakan dirinya
sendiri dan orang lain. Dalam kerumunan kampungnya semua telah menjadi
anonim satu sama lain. Mesin-mesin penghancur peradaban berkeliaran
bebas di jalan raya dan beranak-pinak lebih pesat katimbang pertumbuhan
jenis mahluk apa pun.
Gerimis telah lama pergi diganti hujan dan pekatnya langit, di kiniku
tercipta Btari sebagai manusia utuh meski tak utuh menurut manusia di
luar sana. Bagaimanapun menurut pandangan jamak; manusia tidaklah utuh
ketika ia melajang. Pun Btari menjalani segala bukan tanpa berpikir
masak-masak. Undakan waktu kian beranjak. Btari justru mencari jalan
terdamai atas siapa diri di antara manusia-manusia yang jamak. Ia mahluk
di antara manusia yang tak berani memandang kediriannya dengan biasa.
Meski kemanusiaannya, Btari tiada beda dengan perempuan-perempuan
bayanya. Itu bisa jadi alasan pengabur jatidiri mekipun ada seribu
kebaikan telah Btari sampaikan. Btari bukan wanita pemuja basa-basi, itu
yang utama. Ia memang berbeda. Ia mengemban keistimewaan dan kesialan
dalam satu rangkulan.
Suatu ketika Btari menitikkan airmata, padahal hampir tak pernah
kudapati di manapun Btari memasuki ruang-waktuku. Ia pun memasuki
perenungan yang maha dalam. Dengan seorang lelaki ia berjumpa di atas
oplet tua. Laki-laki itu menasehati sekehendak hati tanpa prakata.
Semacam gemuruh kata yang tiba-tiba mencelat. Serupa kilat. Mata lelaki
itu muram kepayahan. Suram dan lusuh seperti 99 hari berada di dalam
gua. Sedang sorot mata yang tersisa membuat Btari teringat sorot mata
kanak-kanak enggan menjadi tua. Sorot mata itu bertahun-tahun lalu ia
kenal di sebuah sekolah lanjutan pertama.
Ia laki-laki yang minta didengar. Ia ingin terdengar meski sayup.
“Jangan lupakan. Jangan hindari pernikahan. Sayang sekali bila
ibadahmu semestinya berbobot seratus menjadi limapuluh saja hanya karena
kau abaikan nasihat panutan kita untuk menikah. Menikahlah,” titahnya.
Mungkin di dalam hati, kata terakhir lelaki itu telan, “denganku.”
Mata letih itu seketika membuat Btari membisu. Kaku sedingin tugu
batu. Kata terakhir si laki-laki tak sampai pada hati Btari. Saat itu
sampai akhir perjalanan di stanplat desa mereka berpisah. Dipisahkan
oleh jurang pemahaman akan hidup dan tujuan. Ada sesuatu? Btari yakin
Tuhan ada. Suara Tuhankah suara lelaki yang tiba-tiba lewat itu? Btari
melangkah menujuku.
Betapa cacat manusia ketika melajang. Menyebarkan hawa fitnah kata
tak sedikit orang. Padahal sejak mula manusia terlahir ke dunia tercipta
sempurna tak bercela berikut dengan segala cela. Cela? Celakalah Btari
di tanah tempat ia berpijak bila ia bersikukuh meyakini bahwa manusia
tak memanusia ketika mengingkari kesempurnaan asali dan hakiki;
menyelesaikan kalimat.
Usiaku kini seabad jauhnya. Lebih dari cukup untuk mengenal Btari
sampai ke ujung-ujung naluri. Di usiaku yang begini lanjut, aku kurang
nyaman tatkala Btari mencemaskan keadaanku. Itu berlebihan. Aku
baik-baik saja. Aku ini sekuat baja, asal rajin meminyaki saja. Yah,
usiaku sebaya dengan gedung Sociƫteit yang menjadi tempat dansa-dansa
zaman Hindia Belanda di ujung jalan desa. Gedung itu hingga hari ini
masih berdiri rupawan sebagaimana diriku. Kalau aku boleh senarcissus
manusia zaman ini. Bahkan aku sudah melewati berbagai zaman. Kecemasan
Btari kurasa terdorong rasa sayang yang terlalu. Hanya itu. Dan yang
kutahu, dengan bertambahnya usia Btari, ia niscaya belajar mengenalku
seluruh. Sebagaimana ia mengenali dirinya dan pada siapa ia kelak
menyampaikan jiwanya sebagai bagian dirinya. Penuh. Suatu hari ia akan
takjub dengan kelebihan dan kemampuanku tahan berdiri meski diterpa
aneka zaman. Bahkan gempa. Kecuali petir, aku kurang pandai beradu
argumentasi dengan petir.
Btari menyematkan doa ketika menyentuhku, di hari lain.
“Trimakasih telah kau teduhiku dari panas dan hujan. Baik-baik
sajalah saat kutinggal. Hanya beberapa hari. Saat kembali, aku harap kau
tak kurang suatu apa. Tunggu aku pulang, ya?” bisik Btari, mesra.
Aku tersenyum wagu melambaikan tangan pada Btari sambil merabai encok
di pinggangku. Tiga generasi terdahulu telah merawatku dengan
sebaik-baiknya. Seorang Nyonyah yang suatu ketika pulang ke negeri
Belanda. Nyonyah Belanda itu tak segan-segan menyandangiku hiasan kaca
jendela dan pintu dengan kordein renda jahitannya. Beberapa decade
kemudian setelah reda perang dunia kedua, nenek Btari selincah Btari.
Hampir sepanjang hari nenek Btari mengisi hari-hariku kecuali saat ke
pasar atau menghadiri pertemuan-pertemuan pergerakan rakyat bersama
suaminya. Suaminya seorang saudagar, sering bepergian. Nenek Btari
bersamaku dan di sinilah awal tradisi mencangkul dimulai bersamaku,
memenuhi panggilan suci wanita-wanita di sekitar pegunungan Kawi yang
liat dan gagah. Nenek Btari menancap mantab di kaki Gunung Kembar. Nenek
memilih berkebun vanili, vanili harganya bagus, ungkapnya kepada
suaminya. Kepadaku pasangan itu tak kikir memanggil seorang ahli pelitur
kayu-kayu pintu dan jendela. Ini menambah kilauku yang tak segan
memamerkan serat-serat jati dari hutan terdalam Jawa.
Perlakuan tak kalah baik ditunjukkan pula oleh ibu Btari. Aku tak
pernah kesepian karena hampir setiap petang ibu mengundang anak-anak
belajar membaca dan menulis selain tentunya mengurusi kebun. Zaman ibu
Btari, kebun terisi aneka sayur-mayur kegemarannya. Memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Ada pun dengan Btari aku merasakan sesuatu yang tak
serupa dengan para pendahulunya. Meski tampak timpang sebab tak kunjung
hadir sosok kasat sebagai bagian dirinya, aku tak sedikitpun
menuntut-pinta sebagai harapan atau apapun wujud kehadiran sang sosok
terkasihnya, aku tahu, Btari tahu apa yang terbaik dan terbahagia
baginya. Meski orang meragukan nilai bahagia yang diyakini Btari. Wanita
bermata kejora ini menyelaraskan hidup dalam wujud paling sederhana dan
apa adanya. Ia berbahagia.
Entah, hanya dengan Btari, aku selalu rindu saat ia menempuh
perjalanan ke kota-kota yang memanggilnya. Apalagi saat ia ada dalam
rengkuh relung-relung sakaguruku. Ia kurasakan. Hangat tubuhnya yang
hidup. Aku bahkan sama sekali tak berkecil hati meski di sana-sini
atapku telah ditambal-sulami menahan aus termakan waktu. Langit-langitku
masih teduh. Pintuku semua berminyak tak sedikit pun berderit. Lantaiku
tiada berdebu, tak seekor laba-laba dibiarkan bersarang. Mereka itu
membuatku gatal. Dapurku tak sesibuk kala dihuni Nyonyah Belanda atau
nenek dan ibu namun sedikitnya setiap pagi api selalu menyala bersama
Btari memasak air, untuk mandi dan secangkir kopi.
Itu lebih dari baik dengan usiaku yang seabad ini. Btari pun bukan
tak tahu aku menyayanginya. Batin Btari tumbuh bersamaku. Dari bocah
yang tak tahu arti mengapa ia hidup di dunia, kini ia memahami hidup
melebihi yang kuduga. Ia memahami kehidupan dari wangi menur yang
tanahnya gembur tak luput dari cangkul, saban harinya didatangi emprit
kala pagi tiba menyampaikan wartaberita. Yang tertinggal di sanubari,
Btari adalah hakikat dari wujud termurni nenek dan ibunya, sebagai
petani meneruskan tradisi wanita dari Gunung Kembar.
Gerimis yang menjelma hujan menghebat, reda perlahan-lahan ketika
angin berhembus memasuki ruanganku. Hawa tanah basah mengambar melintasi
jendelaku yang terbuka. Di dalamku Btari duduk membaca dunia dan isinya
sebagai kaca benggala. Bulan Kartika tahun 1932 Saka tertera di
permukaan kaca lalu sekejap saja pada akhirnya lenyap.
Sumber : Horison
No comments:
Post a Comment