Salam

Islam itu indah (^_^)

Monday 16 December 2013

Btari

Gerimis menitik. Btari adalah petani seperti ibunya. Tapi ia lebih mirip neneknya. Kabar purba menyampaikan kisah bercocok tanam adalah garapan para wanita di kaki Gunung Kembar sejak jauh silam. Btari pun mengayun cangkul berulang-ulang. Gerimis memadat. Sekali lagi ia ayunkan cangkul. Gerimis justru membuatnya semakin giat menghunus cangkul ke bumi. Langit kelabu masuk bulan Kartika tahun 1932 Saka. Saatnya hutan di pinggiran gunung melebarkan paru-parunya.
Gerimis makin kerap. Tetes-tetes tipis menghiasi rambut mayang Btari yang terlepas merdeka, tak ia ikat. Tubuh kekar Btari berbasuh basah gerimis. Ia memang kekar di kejauhan, saat ia berkenan menunjukkan wajah dari dekat dan seksama, justru muncul wujud wajah cuwilan dagu Dedes. Bibir segaris halus melengkung serupa ukiran bibir topeng wanita tatahan mbah Karimun dari dusun Glagahamba yang selama 40 hari menitiskan garis watak wanita-wanita pegunungan Kawi yang wingit kala Pu Barada berdiam di sana. Hidungnya luwes mengimbangi sepasang mata pancarkan keharuan yang cemerlang. Itu semua niscaya sulit dicari sebab-akibatnya. Sedangkan tulang rahang Btari mengingatkan kita pada lengkungan cawan berkilauan tertimpa sinar rembulan. Keseluruhan kesan bertandang rawan menyempurnakan ingatan. Padanya tersimpan kegelisahan yang menentramkan. Semua itu mengimbangi pelipis dan dahi berkabar keluasan faham yang dalam, terlindung lebat anak-anak rambut yang melingkar-lingkar liar.
Gerimis menyentuh liarnya anak rambut Btari. Semayang mantra yang tak ia tutup-tutupi dengan selembar kain bersulam. Ia biarkan rambutnya berdendang menghirup segar-sejuknya gerimis sebagaimana bulu mata dan alis meraup air dari langit. Tiada canggung berhadapan dengan siapapun. Orang berkabar burung akan alkisah ia mirip Dewi Durga. Sedang ketulusan adi pun nyata terlahir, mewartakan dirinya yang indah tanpa praduga. Keseluruhan wujud Btari pun melahirkan keanggunan semelegenda Dewi Anjani.
Gerimis yang indah tak membuatnya terpana. Watak dasarnya sesederhana pertapa. Btari enggan mematut-matut di depan kaca yang memantulkan sebagian kecil dirinya. Ia tak pandai menata rambutnya. Toh itu tak mengurangi lembut-halus air wajahnya yang bersinar-sinar serupa petang yang merah. Pancaran jiwa tak kenal kasta. Demikianlah Btari, semerdeka sulur-sulur rambut mayang. Ia merdeka menyatakan kehendak bahkan pada gerimis. Ia bersikukuh enggan berteduh.
“Sudahlah. Mari berteduh,” bujukku.
Btari memandangiku. Diam dan sebentar. Aku memandangi langit petang yang kelam sejurus perempuan perkasa itu menengadahkan pandangan.
“Ada apa?” gumamnya, memandang langit selembut anak manusia memandang kekasih manakala ia bertanya tentang Tuhannya.
Langit berdehem seperti demam. Sudah masuk bulan ke enam tahun kesembilan, seribu tahun kedua. Cuaca yang biasa di khatulistiwa. Pada masa datangnya gerimis begini, tak mungkin Btari memetik menur. Ya, bila hujan tak hendak reda, menur mekar kehilangan wewangian: bu Almirah, seorang peronce sunting konde pengantin kurang meminati menur hambar tanpa aroma sesemarak musim jangkrik kawin. Padahal menur ya tetap menur, lambang kekayaan sekaligus ketulusan.
Aduh Btari, masa semacam ini menur jatuh harga dirinya. Tiada bisa disalahkan cuaca. Ini soal selera peronce belaka. Kita sama-sama memahami ini. Btari menunduk, meski kuncup menur dihargai tinggi di pasaran bunga persembahan toh begitu pun ia kesulitan menemui pangsanya, penikmat kuntum-kuntum menurnya. Dan begitulah, sesekali Btari merugi karena alam ingin menunjukkan siapa ia yang sejati. Menjadikan harga menur jatuh anggaplah ini sedekah bumi.
Gerimis membasahi menur. Menur memang sedikit manja tapi tak semanja buah pala. Dengan cuaca yang tepat, kuntum menur berseri-seri seperti raut gadis usia awal belasan.
Gerimis kian pekat, ulat bulu merayap di ujung cabang dahan menur dan kemudian menghilang di semak. Ulat adalah sarapan pagi si emprit yang ramai bertandang ke kebun. Biarlah, rantai makanan bergulir sealaminya, pikir Btari. Apa salahnya turut mencari makan di sini. Aku pun lega Btari memiliki keyakinan atas menur tak memerlukan obat tanaman bikinan manusia diperkota. Sedapat mungkin alam saja yang membuat menur berbunga lebat dan wangi. Biarlah begitu saja. Ya, biarlah.
Gerimis kian berisi menjadi hujan yang ritmis. Seekor kupu-kupu putih meliuk hinggap di pundak kiri Btari. Lalu terbang. Kupu-kupu itu seperti tanpa tujuan tapi dengan cara memandanginya dengan baik tergambarlah dengan jelas, kupu-kupu sedang tak tenang. Ia sedang mencari pasangannya entah ke mana terbang. Kepakannya bikin hati berdesir, ia tak hendak kehilangan kekasih yang dicinta. Tak perlu waktu lama kupu-kupu melampaui duka. Kupu-kupu berjubah serupa muncul. Keajegan kepaknya mantap. Kupu-kupu putih tak lagi menyiratkan kepakan yang gelisah. Btari tahu-menahu, ia terantuk haru atas pertemuan sepasang kupu-kupu. Mereka mengepak saling menyentuh, saling tersentuh, saling memilin. Yang satu mendahului terbang. Mereka menghilang di balik semak gardenia.

Gerimis yang kerap menjelma hujan yang lebat. Btari basah. Ia sandang cangkul di pundak. Mata cangkul itu tak lebar. Btari membelinya dengan rasa yakin, cangkul itu khusus dibuat untuk wanita. Demikian penjual cangkul meyakinkannya. Awalnya Btari tak percaya tapi setelah ia banding-bandingkan, pegangan cangkul memang jauh lebih langsing sehingga cukup aman tertangkup telapak tangan saat tergenggam jari-jari wanitanya. Bahan tangkai pegangan itupun dari kayu cukup ringan meski tidak benar-benar ringan demi mengimbangi ayunan mata cangkul yang terbuat dari besi bermutu. Btari pun membasuh cangkul dengan air beberapa gayung sebersih yang ia mau. Esok, cangkul bermuhibah kembali ke seluruh pelosok kebun menur.
Gerimis menderas, deras. Btari menyalakan api. Api kayu memeletik seperti bintang-bintang berhamburan kesiangan. Air dalam ketel tersemat pantas di atas tungku. Untuk mandi sekaligus menyeduh kopi. Kayu itu sudah menjadi bara ujungnya. Btari lalu menyiapkan cangkir dan bubuk kopi dengan sedikit gula. Samar manisnya. Sesamar wujud Btari di depan tungku. Air dalam ketel tenang di atas bara. Api kayu bergemeletuk dan ketel mulai mengeluarkan uap panas. Gelembung-gelembung permukaan air di dalam ketel membuncah. Gerah. Air membuih. Btari meraih gayung batok kelapa yang menggantung di dekat tungku. Segayung, sisanya ia bawa ke peturasan untuk membasuh tubuh berkeringat dan tertimpa hujan. Kulah dari tanah liat telah terisi sepertiganya air sumur. Kulah meluap saat ditambah air mendidih beraroma getah kayu.
Gerimis telah menjadi hujan melebat, Btari meraih sabun seba, dan sesegera membuat busa. Air, tubuh, rambut, pintu, bunyi telanjang. Nafas. Btari menyeka wajah dan berbincang dengan tubuhnya. Busa menyanyi. Segala yang rusuh luruh dari tubuh. Mandi bagi Btari semacam meditasi bagi jiwa yang kadangkala terlilip debu modernisasi yang menghajar hingga ke kehidupan desanya. Kulit sawo kecik bagai manikam itu pada puncak keindahan wanita. Btari bukan tak menyadari. Ia tahu persis. Ini membuatnya cukup nyaman dan tak mau menjadi pralambang keindahan sebagai alat menjerat absurditas ketakabadian yang dinamakan kecantikan. Btari memilih merendam diri dalam kulah pemahaman makna. Ia berjaga dari keriuhan modernitas yang menggerogoti desanya. Desa Btari dulu lugu. Kini menjelma bengis berperhitungan. Kendaraan bermotor tak lagi mengerti bahwa menyalip di sebelah kiri itu membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Dalam kerumunan kampungnya semua telah menjadi anonim satu sama lain. Mesin-mesin penghancur peradaban berkeliaran bebas di jalan raya dan beranak-pinak lebih pesat katimbang pertumbuhan jenis mahluk apa pun.
Gerimis telah lama pergi diganti hujan dan pekatnya langit, di kiniku tercipta Btari sebagai manusia utuh meski tak utuh menurut manusia di luar sana. Bagaimanapun menurut pandangan jamak; manusia tidaklah utuh ketika ia melajang. Pun Btari menjalani segala bukan tanpa berpikir masak-masak. Undakan waktu kian beranjak. Btari justru mencari jalan terdamai atas siapa diri di antara manusia-manusia yang jamak. Ia mahluk di antara manusia yang tak berani memandang kediriannya dengan biasa. Meski kemanusiaannya, Btari tiada beda dengan perempuan-perempuan bayanya. Itu bisa jadi alasan pengabur jatidiri mekipun ada seribu kebaikan telah Btari sampaikan. Btari bukan wanita pemuja basa-basi, itu yang utama. Ia memang berbeda. Ia mengemban keistimewaan dan kesialan dalam satu rangkulan.
Suatu ketika Btari menitikkan airmata, padahal hampir tak pernah kudapati di manapun Btari memasuki ruang-waktuku. Ia pun memasuki perenungan yang maha dalam. Dengan seorang lelaki ia berjumpa di atas oplet tua. Laki-laki itu menasehati sekehendak hati tanpa prakata. Semacam gemuruh kata yang tiba-tiba mencelat. Serupa kilat. Mata lelaki itu muram kepayahan. Suram dan lusuh seperti 99 hari berada di dalam gua. Sedang sorot mata yang tersisa membuat Btari teringat sorot mata kanak-kanak enggan menjadi tua. Sorot mata itu bertahun-tahun lalu ia kenal di sebuah sekolah lanjutan pertama.
Ia laki-laki yang minta didengar. Ia ingin terdengar meski sayup.
“Jangan lupakan. Jangan hindari pernikahan. Sayang sekali bila ibadahmu semestinya berbobot seratus menjadi limapuluh saja hanya karena kau abaikan nasihat panutan kita untuk menikah. Menikahlah,” titahnya.
Mungkin di dalam hati, kata terakhir lelaki itu telan, “denganku.”
Mata letih itu seketika membuat Btari membisu. Kaku sedingin tugu batu. Kata terakhir si laki-laki tak sampai pada hati Btari. Saat itu sampai akhir perjalanan di stanplat desa mereka berpisah. Dipisahkan oleh jurang pemahaman akan hidup dan tujuan. Ada sesuatu? Btari yakin Tuhan ada. Suara Tuhankah suara lelaki yang tiba-tiba lewat itu? Btari melangkah menujuku.
Betapa cacat manusia ketika melajang. Menyebarkan hawa fitnah kata tak sedikit orang. Padahal sejak mula manusia terlahir ke dunia tercipta sempurna tak bercela berikut dengan segala cela. Cela? Celakalah Btari di tanah tempat ia berpijak bila ia bersikukuh meyakini bahwa manusia tak memanusia ketika mengingkari kesempurnaan asali dan hakiki; menyelesaikan kalimat.
Usiaku kini seabad jauhnya. Lebih dari cukup untuk mengenal Btari sampai ke ujung-ujung naluri. Di usiaku yang begini lanjut, aku kurang nyaman tatkala Btari mencemaskan keadaanku. Itu berlebihan. Aku baik-baik saja. Aku ini sekuat baja, asal rajin meminyaki saja. Yah, usiaku sebaya dengan gedung Sociƫteit yang menjadi tempat dansa-dansa zaman Hindia Belanda di ujung jalan desa. Gedung itu hingga hari ini masih berdiri rupawan sebagaimana diriku. Kalau aku boleh senarcissus manusia zaman ini. Bahkan aku sudah melewati berbagai zaman. Kecemasan Btari kurasa terdorong rasa sayang yang terlalu. Hanya itu. Dan yang kutahu, dengan bertambahnya usia Btari, ia niscaya belajar mengenalku seluruh. Sebagaimana ia mengenali dirinya dan pada siapa ia kelak menyampaikan jiwanya sebagai bagian dirinya. Penuh. Suatu hari ia akan takjub dengan kelebihan dan kemampuanku tahan berdiri meski diterpa aneka zaman. Bahkan gempa. Kecuali petir, aku kurang pandai beradu argumentasi dengan petir.
Btari menyematkan doa ketika menyentuhku, di hari lain.
“Trimakasih telah kau teduhiku dari panas dan hujan. Baik-baik sajalah saat kutinggal. Hanya beberapa hari. Saat kembali, aku harap kau tak kurang suatu apa. Tunggu aku pulang, ya?” bisik Btari, mesra.
Aku tersenyum wagu melambaikan tangan pada Btari sambil merabai encok di pinggangku. Tiga generasi terdahulu telah merawatku dengan sebaik-baiknya. Seorang Nyonyah yang suatu ketika pulang ke negeri Belanda. Nyonyah Belanda itu tak segan-segan menyandangiku hiasan kaca jendela dan pintu dengan kordein renda jahitannya. Beberapa decade kemudian setelah reda perang dunia kedua, nenek Btari selincah Btari. Hampir sepanjang hari nenek Btari mengisi hari-hariku kecuali saat ke pasar atau menghadiri pertemuan-pertemuan pergerakan rakyat bersama suaminya. Suaminya seorang saudagar, sering bepergian. Nenek Btari bersamaku dan di sinilah awal tradisi mencangkul dimulai bersamaku, memenuhi panggilan suci wanita-wanita di sekitar pegunungan Kawi yang liat dan gagah. Nenek Btari menancap mantab di kaki Gunung Kembar. Nenek memilih berkebun vanili, vanili harganya bagus, ungkapnya kepada suaminya. Kepadaku pasangan itu tak kikir memanggil seorang ahli pelitur kayu-kayu pintu dan jendela. Ini menambah kilauku yang tak segan memamerkan serat-serat jati dari hutan terdalam Jawa.
Perlakuan tak kalah baik ditunjukkan pula oleh ibu Btari. Aku tak pernah kesepian karena hampir setiap petang ibu mengundang anak-anak belajar membaca dan menulis selain tentunya mengurusi kebun. Zaman ibu Btari, kebun terisi aneka sayur-mayur kegemarannya. Memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ada pun dengan Btari aku merasakan sesuatu yang tak serupa dengan para pendahulunya. Meski tampak timpang sebab tak kunjung hadir sosok kasat sebagai bagian dirinya, aku tak sedikitpun menuntut-pinta sebagai harapan atau apapun wujud kehadiran sang sosok terkasihnya, aku tahu, Btari tahu apa yang terbaik dan terbahagia baginya. Meski orang meragukan nilai bahagia yang diyakini Btari. Wanita bermata kejora ini menyelaraskan hidup dalam wujud paling sederhana dan apa adanya. Ia berbahagia.
Entah, hanya dengan Btari, aku selalu rindu saat ia menempuh perjalanan ke kota-kota yang memanggilnya. Apalagi saat ia ada dalam rengkuh relung-relung sakaguruku. Ia kurasakan. Hangat tubuhnya yang hidup. Aku bahkan sama sekali tak berkecil hati meski di sana-sini atapku telah ditambal-sulami menahan aus termakan waktu. Langit-langitku masih teduh. Pintuku semua berminyak tak sedikit pun berderit. Lantaiku tiada berdebu, tak seekor laba-laba dibiarkan bersarang. Mereka itu membuatku gatal. Dapurku tak sesibuk kala dihuni Nyonyah Belanda atau nenek dan ibu namun sedikitnya setiap pagi api selalu menyala bersama Btari memasak air, untuk mandi dan secangkir kopi.
Itu lebih dari baik dengan usiaku yang seabad ini. Btari pun bukan tak tahu aku menyayanginya. Batin Btari tumbuh bersamaku. Dari bocah yang tak tahu arti mengapa ia hidup di dunia, kini ia memahami hidup melebihi yang kuduga. Ia memahami kehidupan dari wangi menur yang tanahnya gembur tak luput dari cangkul, saban harinya didatangi emprit kala pagi tiba menyampaikan wartaberita. Yang tertinggal di sanubari, Btari adalah hakikat dari wujud termurni nenek dan ibunya, sebagai petani meneruskan tradisi wanita dari Gunung Kembar.
Gerimis yang menjelma hujan menghebat, reda perlahan-lahan ketika angin berhembus memasuki ruanganku. Hawa tanah basah mengambar melintasi jendelaku yang terbuka. Di dalamku Btari duduk membaca dunia dan isinya sebagai kaca benggala. Bulan Kartika tahun 1932 Saka tertera di permukaan kaca lalu sekejap saja pada akhirnya lenyap.
Sumber : Horison

No comments:

Post a Comment