Indonesia adalah negeri yang sudah berumur karena sudah lebih dari setengah abad kemerdekaan diikrarkan. Perjuangan pahlawan yang tidak pernah mengenal kata putus asa mampu membuat penjajah kocar-kacir dalam usahanya merebut kekuasaan bangsa meskipun banyak cara dilakukan penjajah untuk menguasai Indonesia seperti melalui politik Adu Domba. Berapa kali rakyat Indonesia berperang, berapa jumlah rakyat yang tewas dalam pertempuran dan berapa jumlah kerugian materiil itu tidaklah penting. Hal yang penting adalah semangat para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan pengorbanan pahlawan seperti harta, keluarga, dan nyawa.
Setelah berwindu-windu bangsa Indonesia dijajah, ribuan pahlawan gugur,
jutaan rakyat tewas, hingga akhirnya tahun 1945 Indonesia mampu merebut haknya
mengibarkan Sang Dwi Warna dengan gagahnya. Wajah rakyat berseri, mimpi-mimpi
pahlawan yang diperjuangkan akhirnya terwujud. Hak-hak rakyat sebagai salah
satu unsur pembentukan suatu negara lebih terpenuhi.
kemerdekaan sudah diraih dan orde lama telah runtuh, namun wacana perjuangan
rakyat dalam meraih kemerdekaan seolah hanya sekedar materi pelengkap dalam
buku teks sejarah sekolah. Ironis sekali ketika rakyat Indonesia tidak bangga
dengan statusnya sebagai seorang Indonesia, interpretasi rakyat terhadap
kemerdekaan hanyalah seremoni sebuah kebebasan tanpa memahami esensi
kemerdekaan tersebut. Menanamkan jiwa kebangsaan kepada rakyat memanglah tidak
mudah, contohnya bila kita bercermin pada penanaman wawasan kebangsaan melalui
mata pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), tanpa disadari mata pelajaran
ini sebenarnya hanya perubahan nama dari mata pelajaran CIVICS, PMP (Pendidikan
Moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), dan PPKn
(Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Berubah-ubahnya nama mata pelajaran
ini tidak lepas dari tujuan penanaman wawasan kebangsaan kepada rakyat.
Jiwa pemuda saat ini sangat berbeda jauh dengan pemuda dahulu yang lebih
menghargai hakikat kemerdekaan. Bercermin dari seorang sastrawan Chairil Anwar
dalam puisinya Diponegoro, kita diajak untuk berkontemplasi tentang hakikat
sebuah perjuangan meraih kemerdekaan yang hendaknya dipahami oleh rakyat
Indonesia masa kini sebagai inspirasi dalam mengisi kemerdekaan. Dengan
pemilihan diksi yang tepat dan kematangan penyair dalam membuat sajak, puisi
diponegoro menjadi begitu hidup dan pastinya dibacakan dengan penuh semangat
yang membara dan suara yang keras dan lantang. Pada bait pertama penyair
mengungkapkan kekagumannya pada Pangeran Diponegoro sehingga penyair memperoleh
pencerahan akan kebimbangan hakikat kehidupannya. Penyair selalu berfikir apa
sebenarnya tujuan hidup bila kehidupan ini berakhir dengan kematian, hingga
akhinya penyair memaknai bahwa kehidupan haruslah berarti. Kematian bukan
menjadi masalah yang serius, namun bagaimana kehidupan sebelum kematian itu
dijalani, apakah menunggu kematian atau merubah kehidupan. Pemikiran penyair
berbeda dengan kebanyakan orang, kerena kebanyakan orang berfikir tetang
kematiannya tanpa memikirkan kehidupan dunianya, sedangkan penyair mengetahui
kematian dan berusaha memberi makna pada kehidupannya.
Permasalahan tentang kematian sering hadir dalam kehidupan penyair, namun
kekagumannya kepada Pangeran Diponegoro telah merubah paradigmanya tentang
kematian, sehingga penyair lebih memandang kehidupannya sebagai hal yang harus
diperjuangkan sebelum kematian. Kehidupan harus dijalani dengan perjuangan
penuh semangat meskipun masalah-masalah selalu ada dan kematian adalah akhir
dari kehidupan tersebut.
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Bagaimana kehidupan ini diisi dengan hal yang berarti dianggap lebih
afdal daripada memikirkan kematian itu sendiri. Melakukan hal yang berarti
dalam kehidupan adalah pemikiran penyair sehingga penyair menyampingkan
kematiannya walaupun hanya berarti sekali dan setelah itu mati. Kemerdekaan
adalah hal yang diperjuangkan oleh Pangeran Diponegoro, dengan semangat yang
membara Pangeran Diponegoro berani dan tak gentar meskipun penjajah datang
dengan kekuatan yang lebih besar.
Bagi Pangeran
Diponegoro, mati lebih baik dari pada harus menghamba kepada penjajah, mati
lebih baik dari pada ditindas.
Sudah saatnya pemuda merefleksikan
diri kepada perjuangan Pangeran Diponegoro dalam mengisi kemerdekaan dimana
perang tidak lagi menggunakan fisik, namun menggunakan pemikiran. Sangat
disayangkan ketika publik figur yang
banyak menjadi contoh masyarakat pada umumnya dan pemuda pada khususnya tidak
mencerminkan dirinya sebagai orang yang memiliki jiwa nasionalis. Rakyat hanya
berfikir fasilitas dan kekayaan yang digunakan ini adalah warisan nenek
moyangnya tanpa mengetahui bagaimana nenek moyang merebutnya.
DIPONEGORO
Di masa
pembangunan ini
tuan hidup
kembali
Dan bara kagum
menjadi api
Di depan sekali
tuan menanti
Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan,
keris di kiri
Berselempang
semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak
bergenderang-berpalu
Kepercayaan
tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas
menghamba
Binasa di atas
ditindas
Sesungguhnya
jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus
merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
No comments:
Post a Comment