Dalam pergaulan sastra dunia, sastra Indonesia adalah sebuah terra in cognita,
ruang gelap yang tak diketahui dan tidak dikenal. Adapun karya sastra
Indonesia yang dikenal dan sempat disebut-sebut \, semuanya selalu serba
parsial, tidak utuh dan menyeluruh.
Karya sastrawan Indonesia
di mata dunia, pada akhirnya hanya berhenti pada nama itu-itu saja,
Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, W.S. Rendra,
atau Y.B. Mangunwijaya. Karya mereka pun sebenarnya lebih dikenal hanya
di kalangan dunia akademis atau universitas yang (kebetulan) memiliki
program kajian bahasa dan sastra Indonesia.
Bukan karena karya sastra
Indonesia tidak menarik, tetapi dalam pergaulan sastra masyarakat
internasional, “pembacaan” atas sebuah karya sastra dari negeri yang
asing dan jauh, selalu menjadi hal yang menarik serta menimbulkan rasa
penasaran ketika terdapat sejumlah referensi perihal perkembangan karya
sastra di negeri itu secara lebih menyeluruh sebagai suatu tradisi. Dan
jelas inilah yang tidak dimiliki sastra Indonesia, sehingga ia hanya
dibaca kalangan terbatas di dunia akademik.